Minggu, 20 Maret 2011

Vitamin Buat ning Aya

Vitamin Buat ning Aya

By: Neil Elyon*

Memasuki liburan semester arek-arek ramai berdatangan . Mereka dari berbagai daerah ingin mengisi liburannya dengan belajar di kampung Inggris, Pare. Cuaca Pare yang ‘banget’, banget panasnya waktu siang melebihi panasnya kota Semarang dan banget dinginnya ketika malam datang, tak sedikitpun menyurutkan tekad Parener yang merantau di daerah propinsi Jawa Timur itu. Ratusan tempat kursus saling berkompetisi menarik minat mereka. Aya, Nina, dan Ken, ketiga mahasiswa Universitas swasta di Jakarta jurusan hubungan internasional semester 5 memilih di kamar pojok kos yang tertera nama El Hikam. Mereka tengah berdebat merencanakan weekend pertama mereka disana.

“Weekend ngapain nie?” Tanya Aya

“Ngamar aja deh sambil nobar pake laptop” usul Nina

Ken pun tak mau kalah.

Hang out yuuuk,,nyepeda bareng ke GP gituh.”

“Yang jelas ke warung, laper banget euy!”

“Hmm,,beda smua nie?”

Aya, Nina, dan Ken segera mengambil sepeda masing-masing menuju GP. Mereka bersepeda bareng sepanjang jalan Brawijaya. Garuda Park, yang sering disebut dengan GP amat ramai, terlebih saat akhir pekan. Di sekitar tugu garuda park banyak dijumpai arek-arek yang tengah nongkrong, ada yang nyanyi sambil main musik, ada yang tetap belajar namun dengan suasana berbeda, ada juga yang sekedar foto-foto dan ngobrol bareng, ramai penjual pula. Malam minggu bagi Parener amatlah menyenangkan karena dalam sepekan mereka telah penat dengan kegiatan kursus yang amat melelahkan. Sepanjang jalan tampak camp-camp dan tempat kursus juga para perantau memenuhi warung-warung, warnet, jalan kaki rame-rame. Kebanyakan dari mereka naik sepeda. Banyak tersedia penyewaan sepeda, hanya dengan membayar ongkos sewa dan jaminan KTP, sepeda siap menemani selama 1bulan, kadang tergantung kebutuhan penyewa. Selain GP, di Pare juga ada tempat menarik, Surowono namanya. Surowono adalaah goa penuh air yang ada di suatu daerah di Pare. Tempatnya cukup jauh. Kira-kira butuh waktu 30 menit untuk sampai disana menggunakan sepeda. Tak jauh dari goa, ada candi Surowono dan kolam renang. Tempat wisata yang menyenangkan dan murah.

Tak lebih dari 15 menit, Aya, Nina, dan Ken telah sampai di GP. Mereka saling bercerita tentang pengalaman masing-masing. Tempat kursus dan program belajar yang mereka ambil berbeda. Sehingga pengalaman, ilmu yang berbeda, dan teman yang mereka dapatkan berbeda pula.

“Foto mlulu euy!”

“Yeeah,,suka-suka donk. Mumpung di Pare gitu loh.” Jawab Ken dengan gaya cuweknya.

“BTW, liat deh mereka yang punya pasangan, bikin iri aja.” Ucap Nina.

“He’em, gue juga ngrasa gitu”

“Gak penting kali non…bikin ribet ajah.” Ken menimpali.

Tak ingin berlama-lama di GP yang makin ramai, mereka melanjutkan misi bersepedanya menuju alun-alun Pare. Beeerrr,,,udara dingin pare temani tingkah mereka melewati masjid Annur dengan menarannya yang menjulang tinggi tampak begitu indah, warna biru menyala membuat tak jemu melihatnya. Sambil bersepeda santai, cuap sana sini tak henti-hentinya sehingga tak terasa dah sampai alun-alun Pare. Disini tak kalah ramainya. Banyak anak nongkrong, penjual dengan kesibukan masing-masing. Suasana kota Pare yang ramai dan serba ada. Tugu adipura berdiri tegak disana. Mereka berhenti sebentar hanya untuk membeli kerupuk seperti kerupuk khas Kendal lalu melanjutkan perjalanan mereka kembali ke kos tanpa mengulang rute yang tadi. Melewati perempatan Tulungrejo dan akhirnya kembali ke jalan Brawijaya tempat kos mereka. Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB. Teman-teman kos yang lain rupanya masih betah di luar. El hikam masih sepi. Mereka bertiga menyalakan TV sambil cuap-cuap dan ngemil.

“Emm,,gue masih inget kata-kata kalian tadi di GP. Dari kita bertiga ternyata gak ada yang punya cowok. Let’s share together. Give the reason, why do we didn’t have boy friend?” Tutur Ken

“Siiip… mulai dari loe, Ay! Pinta Nina.

Ketiganya mulai berbagi cerita. Aya, seorang putri kyai ternama mengaku susah pake banget dapetin cowok yang bener-bener mau dan mampu menjaga hati. Mereka hanya pandai mengumbar rayuan maut dan menarik perhatian si kaum hawa. Ketika si cewek tlah siap untuk berkomitmen, si cowok melepas dan meninggalkannya dengan berjuta alasan. Begitulah realita yang Aya amati. Beda Aya beda pula Ken. Menurutnya berkomitmen sama cowok hanya buang-buang waktu aja, lebih baik buat kegiatan produktif untuk meningkatkan bakat dan minat. Pernah terpikir olehnya untuk punya boy friend, maklumlah sebagai cewek normal naluri itu pasti ada, namun segera ia tepis dan ia arahkan pada hal dunia musiknya. Lalu, Nina yang sebenarnya mengiginkan hadirnya teman dekat layaknya remaja yang lain. Bukan berarti mengesampingkan kedua sahabatnya. Sebagai cewek normal wajar saja merasa demikian. Rasa ingin memiliki dan dimiliki, rasa ingin diperhatikan, rasa ingin dicinta slalu timbul di hatinya, namun hingga kini belum mampu ia jalani.

Aya, Nina, dan Ken tidak pernah berkomitmen dengan cowok ato istilahnya pacaran, bukanlah karena mereka tidak menarik, tidak cantik, ataupun tidak diminati. Berapa kali Aya harus memahamkan cowok yang berusaha mendekatinya terlebih berapa banyak santri abahnya yang mengajukan diri untuk menjadi pendampingnya. Betapa sulitnya Nina memberi pengertian pada Zie, sahabat kecilnya yang hingga kini masih mengharapkannya. Sedangkan Ken dengan gaya cuweknya yang slalu merasa biasa dengan tingkah para pangeran yang mendekat. Mereka enjoy dengan keputusan mereka. Dalam hati mereka ada dambaan hidup masing-masing, namun mereka punya cara lain untuk menyikapinya. Hidup adalah pilihan. Setiap orang punya akal, perasaan, dan hati nurani yang menentukan sikap manusia.

Tiba-tiba ide aneh Ken muncul. Tak perlu menunggu lama, ia pun mengungkapkannya pada kedua sahabatnya.

“Sekarang kita balik keadaan dengan sulit berkomitmen. Cowok bisa kenapa kita enggak?! Gimana kalo kita taruhan?”

“Caranya???” Aya dan Nina penuh Tanya

“Kita bikin taruhan. Haha” jawab Ken enteng.

Sebenarnya Aya dan Nina masih belum mengerti. Akhirnya Ken menjelaskan aturan mainnya.

“Taruhan cepet-cepetan dapetin pacar itu udah biasa tapi kalo yang namanya taruhan untuk gak pacaran itu luar biasa. Kita jalankan misi itu”.

Dari mereka bertiga yang pacaran berarti kalah, dan wajib traktir lawan taruhan sesuai requestnya. Menang adalah bagi kita yang nikah duluan. So, berhak dapet hadiah dari lawan taruhan. Batas taruhan ini hingga lulus S1 lho..

“Busyeeet bener ide loe, Ken. Gue setuju aja. Loe gimana, Ay?”

Aya dan Nina serempak berucap, “Okelah kalo begitu.” (tawa mereka menggelegar hingga terdengar keluar)

***

Esok mereka meninggalkan kota sejuta kenangan, Pare. Setelah dua bulan lamanya mereka merantau, menimba ilmu, mencari pengalaman, dan megukir kenangan bersama Parener dari berbagai daerah. Ini akan menjadi rangkaian cerita yang indah nantinya. Tak lupa dengan pecel khasnya, getuk pisang, desa Tulungrejo yang slalu ramai.

***

(Seminggu kemudian)

Kembali dengan suasana Jakarta dan kesibukan kuliah yang biasa mereka jalani. Asrama, kuliah hubungan internasional, teman-teman, dan organisasi mereka di kampus. Disamping itu, ketiga gadis itu saling menjatuhkan. Mereka mempromosikan cowok yang ingin mereka dekatkan dengan lawan taruhannya agar dari mereka ada yang segera kalah untuk meramaikan jalannya taruhan.

Aya meng-Update status FBnya

“Kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga”.

Status itu mengundang banyak comment dari teman-temannya. Entah apa yang tengah dirasa dan dipikirkan oleh Aya. Saat dosen menerangkan di kelas, pikiran Aya menggembara. Tak sedikitpun perhatiannya terarah pada mata kuliah yang tengah berlangsung. Ia hanya sibuk menulis barisan kata sebagai ungkapan hatinya yang belum terluapkan. Ia masih memendam. Air matanya meleleh, tetesan demi tetesan kian membasahi kertas yang ia tulisi. Namun segera ia menghapusnya karena tak ingin seorangpun tahu. Ia masih merahasiakan tentang gus Muhib dari sahabatnya.

Ning Aya dilamar oleh seorang gus pesantren ternama. Abahnya adalah sosok yang demokratis. Namun kini tak ada alasan bagi ning Aya untuk menolak gus Muhib. Ia nyaris sempurna di mata Aya, sarjana dan mempunyai kapabilitas untuk menjadi penerus pengasuh pesantren. Sekilas Aya tertarik pada pemuda yang baru dikenalnya itu. Tokh selama ini ning Aya tak menjalin komitmen dengan cowok manapun meski begitu banyak yang mengharapkannya.

“Selama ini abah slalu memberi yang terbaik buat Aya”. Batin Aya

Aya mengaku kalah. Ia ingin mendapatkan pengalaman lebih di masa remajanya dengan berkomitmen dengan seseorang yang bersedia menjaga hati untuknya, pilihan abahnya, gus Muhib. Bukankah sebelum menang dalam taruhan tentunya akan kalah lebih dahulu. Kisah ini adalah wajar menjadi bagian hidup seseorang. Ia yakin bahwa ia adalah designer kehidupannya disamping ada Yang Maha Segalanya.

Ketika menemui Nina dan Ken, Aya dengan singkat berkata,

“Kurasa perlu vitamin dalam hidupku”. Tutur Aya penuh misteri.

“So????”

Aya hanya menikmati kebingungan kedua lawan taruhan yang sekaligus sahabatnya itu.

***

Asrama FUPK, 27 April 2010 at 22:59 PM

*Penulis adalah mahasiswi FUPK 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar