Minggu, 20 Maret 2011

Leiden merindukanku

Leiden merindukanku

Oleh: Naili Ni’matul Illiyyun*

Semilir angin hiasi malam. Hening terasa menemani tingkah gadis lembut berparas manis. Di depan meja belajar, Lala memandang tulisan “Leiden merindukanku” yang telah lama ia tulis di dinding kamarnya. Pikirannya menerawang jauh. Pandangannya sayu. Terbawa dalam lamunannya di masa lampau.

Ia teringat ketika kedua orangtuanya berselisih pendapat soal kelanjutan kuliahnya. Sang bunda menginginkan agar ia melanjutkan kuliah di fakultas pendidikan agar kelak menjadi guru dan terjamin masa depannya. Namun sang ayah ingin ia mengambil beasiswa program khusus di fakultas Ushuluddin. Lala benar-benar dilemma. Siapa yang harus ia ikuti. Selama beberepa hari ia mempertimbangkannya. Beasiswa S1 di fakultas Ushuluddin dengan kelas bilingual ditambah kegiatan tahfidh dan tutorial bahasa serta kajian kitab begitu menarik. Sedangkan untuk kuliah di fakultas pendidikan, ia harus menunggu tahun depan karena sedang tidak ada biaya. Mengingat ibu dan kakaknya juga masih harus menyelesaikan S1 mereka yang hampir selesai.

“Ayah, Bunda.. Lala mantap untuk melanjutkan kuliah di fakultas Ushuluddin. Bunda tak perlu khawatir dengan masa depanku, aku akan buktikan keseriusanku agar mampu membuat ayah bunda bangga. Untuk itu mohon do’a dan restu.” Pinta Lala

“Iya nak, kejarlah mimpimu. Bunda tahu bahwa semangatmu amatlah besar. Bunda tak boleh egois dengan memaksakanmu mengikuti keinginan bunda. Kau berhak memilih.”

*****

Tak terasa libur panjang semester ganjil pun usai. Hari-hari kembali normal dengan kesibukan seperti biasa. Liburan terlewati dengan latihan TOEFL. Kini Lala duduk di semester 6. Berbekal kemampuan bahasa Inggris yang dimiliki, Lala ingin mengejar mimpinya tuk study abroad tepatnya di negri kincir angin, Belanda. Ia terinspirasi oleh kakak kelasnya yang berhasil menempuh study di luar negeri. Aplikasi short course USA pun ia coba. Asal ada kemauan dan kemampuan, Insyaallah akan dimudahkan jalan mencapainya. Ia bersyukur karena berada di lingkungan sadar pendidikan dan punya semangat belajar yang tinggi. Ia dan teman-temannya saling bersaing tuk mendapatkan kesempatan emas beasiswa ke luar negeri. Detik-detik pengumuman short course di depan mata. Ia meminta do’a dan restu pada semua anggota keluarga dan sahabatnya agar mampu lolos dalam usahanya.

Langit cerah. Mentari memancarkan keindahan cahayanya. Hari pertama kuliah seusai liburan begitu heboh. Selama kurang lebih sebulan tak jumpa, membuat kesan tersendiri saat bertemu lagi. Fakultas Ushuluddin begitu ramai. Lala bergabung dengan sahabat-sahabatnya. Mereka memilih kantin sebagai tempat cuap-cuap. Tiba-tiba ponsel Lala bordering. Telepon dari nomor tak dikenal.

“Halo.. Assalamu’alaikum..” Lala mulai pembicaraan

Teman-temannya tetap melanjutkan cuap-cuap mereka selagi Lala sibuk dengan teleponnya. Tak lama wajah Lala berseri-seri dan ingin segera bercerita pada sahabat-sahabatnya itu.

“Sista..Amerika menungguku”. jerit Lala penuh bahagia

“Alhamdulillaaaaah…”

Mereka serempak memeluk Lala. Ia benar-bena tak menyangka kabar ini. Rasa kaget bertabur bahagia. Ia segera mengabari bundanya.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul 13.00. Lala dan kawan-kawannya segera masuk ke kelas melanjutkan kuliahnya.

*****

“Kejar impianmu, gunakan cita-citamu sebagai semangat dan motivasimu. Niatlah setiap mengawali sesuatu. Ketika malas mendekat, usirlah dengan cara memaksa diri”. Itulah nasehat berharga dari mendiang Ayahnya yang slalu Lala ingat.

Karena ingin fokus pada cita-citanya, ia mengesampingkan urusan asmara layaknya anak muda. Lala gak punya pacar. Walau banyak yang mendekatinya, ia tetap menganggap mereka sebagai teman. Dengan begini Lala bisa menjadi diri sendiri. Tak apa melewati masa remaja tanpa pacar, yang penting bisa memanfaatkan waktu dengan kegiatan positif. Kesibukan kuliah dan organisasi memenuhi hari-harinya.

Adit, teman lintas kampusnya telah lama menyatakan perasaannya, namun Lala tetap saja menganggapnya sebatas sahabat. Mereka berkenalan 2 tahun yang lalu saat acara organisasi lintas kampus. Lala dikenal sebagai pribadi yang supel, humoris, dan berwibawa. Keaktifannya di kampus mengundang banyak perhatian dari teman-temannya.

Hidup Lala tak semulus yang ia rencanakan. Awalnya ia berniat mengkhatamkan hafalan al Qur’an selama di bangku kuliah. Ia ingin seperti ayahnya yang hafal al Qur’an. Namun saat menempuh semester 3, musibah mengguncang hidupnya. Ayahnya meninggal karena penyakit yang dideritanya. Sulit sekali bangkit dari keterpurukan itu, motivator hilang. Frustasi dan depresi berat yang ia rasakan berangsur pulih dalam kurun waktu setahun. Ia berusaha menyibukkan diri dengan kuliahnya. Disamping itu Ia aktif di organisasi kampus dan mengajar privat siswa SMP. Ia menyadari bahwa tekadnya menghafal al Qur’an tidak begitu besar. Ia selalu meminta petunjuk Allah untuk dimudahkan dalam setiap urusannya. Upayanya untuk mengembalikan puing–puing semangat tahfidhnya belum juga berhasil. Sehingga ia alihkan perhatiannya untuk lebih fokus pada kuliahnya dan mengejar mimpinya. Study abroad. Selalu ada solusi dalam hidup ini. Plan A gagal, maka plan B dijalankan. Begitulah Lala menjalani hidup. Ia merasa lebih enjoy dan semangat.

“maafkan Lala ayah.. sekarang Lala belum bisa turuti keinginan ayah. Mungkin suatu saat nanti”. Sesalnya.

*****

Gerimis tak kunjung usai. Lala menyibukkan diri di kamar kesayangan bersama bunda tercinta. Tiba-tiba Handphone Lala berdering pertanda SMS masuk.

Close your eyes

Give me your hand, darling

Do you feel my heart beating?

Do you understand?

Do you feel the same?

Am I only dreaming?

Is this burning, an eternal flame...

Ternyata SMS tersebut dari Adit, cowok yang sangat mencintai Lala. Malam menjelang keberangkatannya ke Amerika, ia habiskan waktu dengan bercengkerama bersama Adit via SMS. Seakan Adit tak ingin kehilangan Lala.

*****

Moment yang dinanti tiba. Lala telah selesai berkemas. Hari ini menjadi hari bersejarah baginya tuk sementara meninggalkan Indonesia menuju Amerika. Beasiswa short course ini akan menjadi batu loncatan Lala menuju Leiden university di Belanda yang telah lama ia rindukan. Ia slalu memvisualisasikan mimpi-mimpinya lewat ucapan maupun tulisan sebagai motivasi hidup. Di dinding kamarnya slalu terukir kata ajaib “Leiden merindukanku”.

“Mobil sudah menunggu di depan. Bersiap-siaplah.” Ujar kakak

“siiip..”

Saatnya berpamitan. Lala siap menuju negeri Paman Sam. Ia akan berada disana selama dua bulan. Mencari ilmu di negeri seberang adalah impiannya. Segera ia menyalami sahabat-sahabatnya.

“Jangan takut tuk bermimpi” ujar Lala sambil memeluk sahabatnya.

“Yeah..kuakui bahwa Lala adalah sang pemimpi yang berani” ucap Nadya melepas sahabatnya.

Tangis perpisahan pun tak mampu terbendung diantara mereka. Di satu sisi mereka bahagia atas prestasi temannya bisa sampai ke luar negeri, namun di sisi lain mereka sedih melepas keberangkatannya. Rasanya tak ingin berpisah barang sejenak. Keluarga Lala telah menunggu di mobil. Cuaca mendung seolah merasakan kepergiannya menuju Amerika.

Adit turut serta melepas kepergian gadisnya. Ia memberikan kado special untuk Lala. Sebuah buku diary sesuai dengan hobi sang pujaan hati.

Tak ada yang perlu ditakuti dalam hidup ini. Rasa takut dalam diri adalah musuh yang harus dikalahkan. Everything is possible. Setiap orang berhak dengan impian meraih cinta dan citanya. Maka bermimpilah………

*****

Semarang, 6 Maret 2011 [15:41 WIB]

*penulis adalah mahasiswi jurusan Tafsir Hadits IAIN Walisongo Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar