Minggu, 20 Maret 2011

Cinta Seumur SKS

Cinta Seumur SKS

By: Neil Elyon

Indahnya mentari kini tertutup oleh awan mendung, seakan berbagi rasa dengan Rima yang tengah terluka hatinya. Langkahnya pelan menyusuri lorong kelas dan berusaha tegar menyambut hari-harinya dan bangkit mengembalikan puing-puing semangatnya. Tak lama ia duduk terpaku sambil menunggu dosen yang akan memberikan mata kuliahnya. Pikirannya menerawang jauh nan jauh melayang. Rima mengingat hari-hari itu, hari yang paling kelam dalam kisah cintanya.

*****

Kisah itu dimulai sejak Rima merasakan keganjalan dalam hubungannya, seolah-olah ada yang tak wajar dari biasanya, keadaan berubah drastis. Ia merasa digantung oleh cintanya, Rama. Bertemu di kampus serasa tak kenal, tak ada yang special, SMS tanpa balasan, telfon tak diangkat, comment via FB pun tan direspon. Sungguh tak ada komunikasi, Rama benar-benar menghindar darinya. Hari demi hari, minggu demi minggu tak ubahnya sikap pemuda itu.

*****

Tak sengaja keduanya bertemu di kantin kampus. Tak bisa dihindari lagi, Rama terpaksa harus buka mulut tul menjelaskan hubungan mereka. Basa-basi yang tak pasti membuat Rima jemu. Rama tak yakin dengan apa yang akan ia katakana namun hingga pada akhirnya sampai pada titik permasalahan.

“Aku jatuh cinta pada cewek lain, Aku jemu bersamamu.”

Hati Rima hancur seketika layaknya gelas yang jatuh dari lantai seratus. Dengan terbata-bata, ia berusaha bicara pada Rama.

“Mengapa kakak begitu tega padaku? Sadis!!! Salah apa Aku hingga membuatmu seperti ini?”

“Aku tak tahu, inilah rasa yang kuterima.”

Hujan deras mengucur membasahi bumi seiring mata Rima berurai air mata. Tanpa ingin mengetahui siapa wanita yanmg tengah mengisi hati Rama dan tanpa ingin berlama-lama dengan seseorang yang telah menghancurkan hatinya, Rima segera beranjak meninggalkan Rama tanpa basa-basi.

*****

Hari-hari terasa hampa dan jelas berbeda dari biasanya. Rasa perih dan luka terukir di hatinya. “I hate U coz Ur attitude!!!” tulis Rima dalam barisan diary kesayangannya. Rasa sayang, perhatian, dan respect pada belahan jiwanya tlah sirna, musnah. Tak terasa, air matanya meleleh dari tepi mata indahnya. Jujur, Rima merindukan sosoknya, berharap cinta kasihnya slalu ada. Terbayang lekat masa-masa indah yang tlah dilaluinya bersama Rama. Banyak angan dan cita yang ingin ia wujudkan bersamanya.

If you are not the one then why does my soul feel glad today

If you are not the one then why does my hand fit yours this way

If you are not mine then why does your heart brighten my call

If you are not mine then why I have the stand at all

Well make it true and I hope you are the one I share my life with

And I wish that you could be the one I die with

And I pray in you are the one I build my home with

I hope I love you all my life

Lagu Daniel Bedingfield itu tak lama menjadi soundtrack kisah cintanya. Namun kini lagu “Hati yang Tersakiti” lebih tepat untuk mengisi hari-harinya.

*****

Semester empat menjadi moment terindah yang tlah terukir dalam sejarah hidupnya, namun searang menjadi semester kelam dan sadis yang ia rasakan. Angannya yang terlalu indah untuk merangkai masa depan bersama pujaan hatinya kini pupus sudah. “Terima kasih tlah mengukir rasa indah, bermakna namun perih dalam sejarah hidupku.”, batin Rima.

Terlalu indah tuk dilupakan

Terlalu perih tuk dikenang

*****

“Allow….” Sapa Mey sobat Rima membangunkan lamunannya,

“Eh,,,hey!!!” Jawab Rima tergagap

Dosen memulai mata kuliah di kelasnya dengan datar.

Rima merasa harus tetap bertahan dan tegar serta menebar senyum mesra pada dunia. Kini Rima jalani hari-harinya tanpa salam hangat dari Rama dan tiada lagi respect untuk si dia.

*****

Bawang Batang, 1812’09

00: 10 WIB

Vitamin Buat ning Aya

Vitamin Buat ning Aya

By: Neil Elyon*

Memasuki liburan semester arek-arek ramai berdatangan . Mereka dari berbagai daerah ingin mengisi liburannya dengan belajar di kampung Inggris, Pare. Cuaca Pare yang ‘banget’, banget panasnya waktu siang melebihi panasnya kota Semarang dan banget dinginnya ketika malam datang, tak sedikitpun menyurutkan tekad Parener yang merantau di daerah propinsi Jawa Timur itu. Ratusan tempat kursus saling berkompetisi menarik minat mereka. Aya, Nina, dan Ken, ketiga mahasiswa Universitas swasta di Jakarta jurusan hubungan internasional semester 5 memilih di kamar pojok kos yang tertera nama El Hikam. Mereka tengah berdebat merencanakan weekend pertama mereka disana.

“Weekend ngapain nie?” Tanya Aya

“Ngamar aja deh sambil nobar pake laptop” usul Nina

Ken pun tak mau kalah.

Hang out yuuuk,,nyepeda bareng ke GP gituh.”

“Yang jelas ke warung, laper banget euy!”

“Hmm,,beda smua nie?”

Aya, Nina, dan Ken segera mengambil sepeda masing-masing menuju GP. Mereka bersepeda bareng sepanjang jalan Brawijaya. Garuda Park, yang sering disebut dengan GP amat ramai, terlebih saat akhir pekan. Di sekitar tugu garuda park banyak dijumpai arek-arek yang tengah nongkrong, ada yang nyanyi sambil main musik, ada yang tetap belajar namun dengan suasana berbeda, ada juga yang sekedar foto-foto dan ngobrol bareng, ramai penjual pula. Malam minggu bagi Parener amatlah menyenangkan karena dalam sepekan mereka telah penat dengan kegiatan kursus yang amat melelahkan. Sepanjang jalan tampak camp-camp dan tempat kursus juga para perantau memenuhi warung-warung, warnet, jalan kaki rame-rame. Kebanyakan dari mereka naik sepeda. Banyak tersedia penyewaan sepeda, hanya dengan membayar ongkos sewa dan jaminan KTP, sepeda siap menemani selama 1bulan, kadang tergantung kebutuhan penyewa. Selain GP, di Pare juga ada tempat menarik, Surowono namanya. Surowono adalaah goa penuh air yang ada di suatu daerah di Pare. Tempatnya cukup jauh. Kira-kira butuh waktu 30 menit untuk sampai disana menggunakan sepeda. Tak jauh dari goa, ada candi Surowono dan kolam renang. Tempat wisata yang menyenangkan dan murah.

Tak lebih dari 15 menit, Aya, Nina, dan Ken telah sampai di GP. Mereka saling bercerita tentang pengalaman masing-masing. Tempat kursus dan program belajar yang mereka ambil berbeda. Sehingga pengalaman, ilmu yang berbeda, dan teman yang mereka dapatkan berbeda pula.

“Foto mlulu euy!”

“Yeeah,,suka-suka donk. Mumpung di Pare gitu loh.” Jawab Ken dengan gaya cuweknya.

“BTW, liat deh mereka yang punya pasangan, bikin iri aja.” Ucap Nina.

“He’em, gue juga ngrasa gitu”

“Gak penting kali non…bikin ribet ajah.” Ken menimpali.

Tak ingin berlama-lama di GP yang makin ramai, mereka melanjutkan misi bersepedanya menuju alun-alun Pare. Beeerrr,,,udara dingin pare temani tingkah mereka melewati masjid Annur dengan menarannya yang menjulang tinggi tampak begitu indah, warna biru menyala membuat tak jemu melihatnya. Sambil bersepeda santai, cuap sana sini tak henti-hentinya sehingga tak terasa dah sampai alun-alun Pare. Disini tak kalah ramainya. Banyak anak nongkrong, penjual dengan kesibukan masing-masing. Suasana kota Pare yang ramai dan serba ada. Tugu adipura berdiri tegak disana. Mereka berhenti sebentar hanya untuk membeli kerupuk seperti kerupuk khas Kendal lalu melanjutkan perjalanan mereka kembali ke kos tanpa mengulang rute yang tadi. Melewati perempatan Tulungrejo dan akhirnya kembali ke jalan Brawijaya tempat kos mereka. Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB. Teman-teman kos yang lain rupanya masih betah di luar. El hikam masih sepi. Mereka bertiga menyalakan TV sambil cuap-cuap dan ngemil.

“Emm,,gue masih inget kata-kata kalian tadi di GP. Dari kita bertiga ternyata gak ada yang punya cowok. Let’s share together. Give the reason, why do we didn’t have boy friend?” Tutur Ken

“Siiip… mulai dari loe, Ay! Pinta Nina.

Ketiganya mulai berbagi cerita. Aya, seorang putri kyai ternama mengaku susah pake banget dapetin cowok yang bener-bener mau dan mampu menjaga hati. Mereka hanya pandai mengumbar rayuan maut dan menarik perhatian si kaum hawa. Ketika si cewek tlah siap untuk berkomitmen, si cowok melepas dan meninggalkannya dengan berjuta alasan. Begitulah realita yang Aya amati. Beda Aya beda pula Ken. Menurutnya berkomitmen sama cowok hanya buang-buang waktu aja, lebih baik buat kegiatan produktif untuk meningkatkan bakat dan minat. Pernah terpikir olehnya untuk punya boy friend, maklumlah sebagai cewek normal naluri itu pasti ada, namun segera ia tepis dan ia arahkan pada hal dunia musiknya. Lalu, Nina yang sebenarnya mengiginkan hadirnya teman dekat layaknya remaja yang lain. Bukan berarti mengesampingkan kedua sahabatnya. Sebagai cewek normal wajar saja merasa demikian. Rasa ingin memiliki dan dimiliki, rasa ingin diperhatikan, rasa ingin dicinta slalu timbul di hatinya, namun hingga kini belum mampu ia jalani.

Aya, Nina, dan Ken tidak pernah berkomitmen dengan cowok ato istilahnya pacaran, bukanlah karena mereka tidak menarik, tidak cantik, ataupun tidak diminati. Berapa kali Aya harus memahamkan cowok yang berusaha mendekatinya terlebih berapa banyak santri abahnya yang mengajukan diri untuk menjadi pendampingnya. Betapa sulitnya Nina memberi pengertian pada Zie, sahabat kecilnya yang hingga kini masih mengharapkannya. Sedangkan Ken dengan gaya cuweknya yang slalu merasa biasa dengan tingkah para pangeran yang mendekat. Mereka enjoy dengan keputusan mereka. Dalam hati mereka ada dambaan hidup masing-masing, namun mereka punya cara lain untuk menyikapinya. Hidup adalah pilihan. Setiap orang punya akal, perasaan, dan hati nurani yang menentukan sikap manusia.

Tiba-tiba ide aneh Ken muncul. Tak perlu menunggu lama, ia pun mengungkapkannya pada kedua sahabatnya.

“Sekarang kita balik keadaan dengan sulit berkomitmen. Cowok bisa kenapa kita enggak?! Gimana kalo kita taruhan?”

“Caranya???” Aya dan Nina penuh Tanya

“Kita bikin taruhan. Haha” jawab Ken enteng.

Sebenarnya Aya dan Nina masih belum mengerti. Akhirnya Ken menjelaskan aturan mainnya.

“Taruhan cepet-cepetan dapetin pacar itu udah biasa tapi kalo yang namanya taruhan untuk gak pacaran itu luar biasa. Kita jalankan misi itu”.

Dari mereka bertiga yang pacaran berarti kalah, dan wajib traktir lawan taruhan sesuai requestnya. Menang adalah bagi kita yang nikah duluan. So, berhak dapet hadiah dari lawan taruhan. Batas taruhan ini hingga lulus S1 lho..

“Busyeeet bener ide loe, Ken. Gue setuju aja. Loe gimana, Ay?”

Aya dan Nina serempak berucap, “Okelah kalo begitu.” (tawa mereka menggelegar hingga terdengar keluar)

***

Esok mereka meninggalkan kota sejuta kenangan, Pare. Setelah dua bulan lamanya mereka merantau, menimba ilmu, mencari pengalaman, dan megukir kenangan bersama Parener dari berbagai daerah. Ini akan menjadi rangkaian cerita yang indah nantinya. Tak lupa dengan pecel khasnya, getuk pisang, desa Tulungrejo yang slalu ramai.

***

(Seminggu kemudian)

Kembali dengan suasana Jakarta dan kesibukan kuliah yang biasa mereka jalani. Asrama, kuliah hubungan internasional, teman-teman, dan organisasi mereka di kampus. Disamping itu, ketiga gadis itu saling menjatuhkan. Mereka mempromosikan cowok yang ingin mereka dekatkan dengan lawan taruhannya agar dari mereka ada yang segera kalah untuk meramaikan jalannya taruhan.

Aya meng-Update status FBnya

“Kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga”.

Status itu mengundang banyak comment dari teman-temannya. Entah apa yang tengah dirasa dan dipikirkan oleh Aya. Saat dosen menerangkan di kelas, pikiran Aya menggembara. Tak sedikitpun perhatiannya terarah pada mata kuliah yang tengah berlangsung. Ia hanya sibuk menulis barisan kata sebagai ungkapan hatinya yang belum terluapkan. Ia masih memendam. Air matanya meleleh, tetesan demi tetesan kian membasahi kertas yang ia tulisi. Namun segera ia menghapusnya karena tak ingin seorangpun tahu. Ia masih merahasiakan tentang gus Muhib dari sahabatnya.

Ning Aya dilamar oleh seorang gus pesantren ternama. Abahnya adalah sosok yang demokratis. Namun kini tak ada alasan bagi ning Aya untuk menolak gus Muhib. Ia nyaris sempurna di mata Aya, sarjana dan mempunyai kapabilitas untuk menjadi penerus pengasuh pesantren. Sekilas Aya tertarik pada pemuda yang baru dikenalnya itu. Tokh selama ini ning Aya tak menjalin komitmen dengan cowok manapun meski begitu banyak yang mengharapkannya.

“Selama ini abah slalu memberi yang terbaik buat Aya”. Batin Aya

Aya mengaku kalah. Ia ingin mendapatkan pengalaman lebih di masa remajanya dengan berkomitmen dengan seseorang yang bersedia menjaga hati untuknya, pilihan abahnya, gus Muhib. Bukankah sebelum menang dalam taruhan tentunya akan kalah lebih dahulu. Kisah ini adalah wajar menjadi bagian hidup seseorang. Ia yakin bahwa ia adalah designer kehidupannya disamping ada Yang Maha Segalanya.

Ketika menemui Nina dan Ken, Aya dengan singkat berkata,

“Kurasa perlu vitamin dalam hidupku”. Tutur Aya penuh misteri.

“So????”

Aya hanya menikmati kebingungan kedua lawan taruhan yang sekaligus sahabatnya itu.

***

Asrama FUPK, 27 April 2010 at 22:59 PM

*Penulis adalah mahasiswi FUPK 2008

Leiden merindukanku

Leiden merindukanku

Oleh: Naili Ni’matul Illiyyun*

Semilir angin hiasi malam. Hening terasa menemani tingkah gadis lembut berparas manis. Di depan meja belajar, Lala memandang tulisan “Leiden merindukanku” yang telah lama ia tulis di dinding kamarnya. Pikirannya menerawang jauh. Pandangannya sayu. Terbawa dalam lamunannya di masa lampau.

Ia teringat ketika kedua orangtuanya berselisih pendapat soal kelanjutan kuliahnya. Sang bunda menginginkan agar ia melanjutkan kuliah di fakultas pendidikan agar kelak menjadi guru dan terjamin masa depannya. Namun sang ayah ingin ia mengambil beasiswa program khusus di fakultas Ushuluddin. Lala benar-benar dilemma. Siapa yang harus ia ikuti. Selama beberepa hari ia mempertimbangkannya. Beasiswa S1 di fakultas Ushuluddin dengan kelas bilingual ditambah kegiatan tahfidh dan tutorial bahasa serta kajian kitab begitu menarik. Sedangkan untuk kuliah di fakultas pendidikan, ia harus menunggu tahun depan karena sedang tidak ada biaya. Mengingat ibu dan kakaknya juga masih harus menyelesaikan S1 mereka yang hampir selesai.

“Ayah, Bunda.. Lala mantap untuk melanjutkan kuliah di fakultas Ushuluddin. Bunda tak perlu khawatir dengan masa depanku, aku akan buktikan keseriusanku agar mampu membuat ayah bunda bangga. Untuk itu mohon do’a dan restu.” Pinta Lala

“Iya nak, kejarlah mimpimu. Bunda tahu bahwa semangatmu amatlah besar. Bunda tak boleh egois dengan memaksakanmu mengikuti keinginan bunda. Kau berhak memilih.”

*****

Tak terasa libur panjang semester ganjil pun usai. Hari-hari kembali normal dengan kesibukan seperti biasa. Liburan terlewati dengan latihan TOEFL. Kini Lala duduk di semester 6. Berbekal kemampuan bahasa Inggris yang dimiliki, Lala ingin mengejar mimpinya tuk study abroad tepatnya di negri kincir angin, Belanda. Ia terinspirasi oleh kakak kelasnya yang berhasil menempuh study di luar negeri. Aplikasi short course USA pun ia coba. Asal ada kemauan dan kemampuan, Insyaallah akan dimudahkan jalan mencapainya. Ia bersyukur karena berada di lingkungan sadar pendidikan dan punya semangat belajar yang tinggi. Ia dan teman-temannya saling bersaing tuk mendapatkan kesempatan emas beasiswa ke luar negeri. Detik-detik pengumuman short course di depan mata. Ia meminta do’a dan restu pada semua anggota keluarga dan sahabatnya agar mampu lolos dalam usahanya.

Langit cerah. Mentari memancarkan keindahan cahayanya. Hari pertama kuliah seusai liburan begitu heboh. Selama kurang lebih sebulan tak jumpa, membuat kesan tersendiri saat bertemu lagi. Fakultas Ushuluddin begitu ramai. Lala bergabung dengan sahabat-sahabatnya. Mereka memilih kantin sebagai tempat cuap-cuap. Tiba-tiba ponsel Lala bordering. Telepon dari nomor tak dikenal.

“Halo.. Assalamu’alaikum..” Lala mulai pembicaraan

Teman-temannya tetap melanjutkan cuap-cuap mereka selagi Lala sibuk dengan teleponnya. Tak lama wajah Lala berseri-seri dan ingin segera bercerita pada sahabat-sahabatnya itu.

“Sista..Amerika menungguku”. jerit Lala penuh bahagia

“Alhamdulillaaaaah…”

Mereka serempak memeluk Lala. Ia benar-bena tak menyangka kabar ini. Rasa kaget bertabur bahagia. Ia segera mengabari bundanya.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul 13.00. Lala dan kawan-kawannya segera masuk ke kelas melanjutkan kuliahnya.

*****

“Kejar impianmu, gunakan cita-citamu sebagai semangat dan motivasimu. Niatlah setiap mengawali sesuatu. Ketika malas mendekat, usirlah dengan cara memaksa diri”. Itulah nasehat berharga dari mendiang Ayahnya yang slalu Lala ingat.

Karena ingin fokus pada cita-citanya, ia mengesampingkan urusan asmara layaknya anak muda. Lala gak punya pacar. Walau banyak yang mendekatinya, ia tetap menganggap mereka sebagai teman. Dengan begini Lala bisa menjadi diri sendiri. Tak apa melewati masa remaja tanpa pacar, yang penting bisa memanfaatkan waktu dengan kegiatan positif. Kesibukan kuliah dan organisasi memenuhi hari-harinya.

Adit, teman lintas kampusnya telah lama menyatakan perasaannya, namun Lala tetap saja menganggapnya sebatas sahabat. Mereka berkenalan 2 tahun yang lalu saat acara organisasi lintas kampus. Lala dikenal sebagai pribadi yang supel, humoris, dan berwibawa. Keaktifannya di kampus mengundang banyak perhatian dari teman-temannya.

Hidup Lala tak semulus yang ia rencanakan. Awalnya ia berniat mengkhatamkan hafalan al Qur’an selama di bangku kuliah. Ia ingin seperti ayahnya yang hafal al Qur’an. Namun saat menempuh semester 3, musibah mengguncang hidupnya. Ayahnya meninggal karena penyakit yang dideritanya. Sulit sekali bangkit dari keterpurukan itu, motivator hilang. Frustasi dan depresi berat yang ia rasakan berangsur pulih dalam kurun waktu setahun. Ia berusaha menyibukkan diri dengan kuliahnya. Disamping itu Ia aktif di organisasi kampus dan mengajar privat siswa SMP. Ia menyadari bahwa tekadnya menghafal al Qur’an tidak begitu besar. Ia selalu meminta petunjuk Allah untuk dimudahkan dalam setiap urusannya. Upayanya untuk mengembalikan puing–puing semangat tahfidhnya belum juga berhasil. Sehingga ia alihkan perhatiannya untuk lebih fokus pada kuliahnya dan mengejar mimpinya. Study abroad. Selalu ada solusi dalam hidup ini. Plan A gagal, maka plan B dijalankan. Begitulah Lala menjalani hidup. Ia merasa lebih enjoy dan semangat.

“maafkan Lala ayah.. sekarang Lala belum bisa turuti keinginan ayah. Mungkin suatu saat nanti”. Sesalnya.

*****

Gerimis tak kunjung usai. Lala menyibukkan diri di kamar kesayangan bersama bunda tercinta. Tiba-tiba Handphone Lala berdering pertanda SMS masuk.

Close your eyes

Give me your hand, darling

Do you feel my heart beating?

Do you understand?

Do you feel the same?

Am I only dreaming?

Is this burning, an eternal flame...

Ternyata SMS tersebut dari Adit, cowok yang sangat mencintai Lala. Malam menjelang keberangkatannya ke Amerika, ia habiskan waktu dengan bercengkerama bersama Adit via SMS. Seakan Adit tak ingin kehilangan Lala.

*****

Moment yang dinanti tiba. Lala telah selesai berkemas. Hari ini menjadi hari bersejarah baginya tuk sementara meninggalkan Indonesia menuju Amerika. Beasiswa short course ini akan menjadi batu loncatan Lala menuju Leiden university di Belanda yang telah lama ia rindukan. Ia slalu memvisualisasikan mimpi-mimpinya lewat ucapan maupun tulisan sebagai motivasi hidup. Di dinding kamarnya slalu terukir kata ajaib “Leiden merindukanku”.

“Mobil sudah menunggu di depan. Bersiap-siaplah.” Ujar kakak

“siiip..”

Saatnya berpamitan. Lala siap menuju negeri Paman Sam. Ia akan berada disana selama dua bulan. Mencari ilmu di negeri seberang adalah impiannya. Segera ia menyalami sahabat-sahabatnya.

“Jangan takut tuk bermimpi” ujar Lala sambil memeluk sahabatnya.

“Yeah..kuakui bahwa Lala adalah sang pemimpi yang berani” ucap Nadya melepas sahabatnya.

Tangis perpisahan pun tak mampu terbendung diantara mereka. Di satu sisi mereka bahagia atas prestasi temannya bisa sampai ke luar negeri, namun di sisi lain mereka sedih melepas keberangkatannya. Rasanya tak ingin berpisah barang sejenak. Keluarga Lala telah menunggu di mobil. Cuaca mendung seolah merasakan kepergiannya menuju Amerika.

Adit turut serta melepas kepergian gadisnya. Ia memberikan kado special untuk Lala. Sebuah buku diary sesuai dengan hobi sang pujaan hati.

Tak ada yang perlu ditakuti dalam hidup ini. Rasa takut dalam diri adalah musuh yang harus dikalahkan. Everything is possible. Setiap orang berhak dengan impian meraih cinta dan citanya. Maka bermimpilah………

*****

Semarang, 6 Maret 2011 [15:41 WIB]

*penulis adalah mahasiswi jurusan Tafsir Hadits IAIN Walisongo Semarang.

Rabu, 01 Juli 2009

Kaulah yAnG teRinDaH

Orang di barat bilang, matahari yang terindah
Aku diam
Orang di timur bilang, bintanglah yang terindah
Aku diam
Orang di utara bilang, gunung itu paling indah
Aku diam
Orang di selatan bilang, laut yang terindah
Aku diam
Orang di barat, di timur, di utara dan di selatan diam
Aku bilang, Kaulah yang terindah

(Anonim)

Give Thanks to Allah

Give thanks to Allah, for d'moon 'n d'stars
Prays in all day full, what is 'n what was
Take hold of 'ur iman, don't givin to shaitan
Oh U who believe, please give thanks to Allah

Allahu Ghofur Allahu Rahim, Allahu yuhibbul muhsinin
Huwa Khaliquna Huwa Raziquna, wa Huwa 'ala kulli syai'in qadir
Allah is Ghofur Allah is Rahim, Allah is d'One who loves d'muhsinin
He is a creator He is a sistainer, 'n He is d'One who has power aver all

CeRpEN

3C ( Cinta dan Cita Chilya )
Pagi yang cerah, mentari pagi tampak indah menghiasi langit seolah menemani Chilya melaju dengan sepedanya menunju sekolah. Tampak rona kebahagiaan terukir di wajah cantiknya dengan kibaran jilbab putihnya. Sejauh 1Km setiap hari Chilya mengayuh sepedanya pulang pergi sekolah. Walaupun begitu tak sedikitpun timbul perasaan rendah diri di hatinya sebagai siswi SMU favorit di kotanya. Sejak kecil Chilya dan kakaknya bernama Hasan diasuh oleh paman dan bibinya sepeninggal kedua orang tuanya. Walau sudah lama tak merasakan hangatnya cinta kasih ayah bunda, mereka tetap merasakan kasih sayang dari keluarga paman.
Tak lama ia tiba di sekolah. Langkahnya begitu bersemangat menyusuri jalan menuju kelasnya. Tiba-tiba didengarnya seorang tengah memanggil namanya. Ia menengok ke arah sumber suara. Ternyata Hilman menghampirinya.
“Hilman, ada apa?”
“Nanti ada pertemuan anak-anak redaksi di sekertariat” Ujar Hilman dengan gaya ketusnya.
“OK”
Cowok berkacamata itu segera meninggalkannya. Hilman dan Chilya anggota tim jurnalis sekolah, selain itu ada Shila dan Raghib partner kerjanya. Shila cewek tomboi yang merupakan teman sebangku sekaligus sahabat Chilya. Raghib dengan ciri khas gayanya yang sok cool dan jepret sana jepret sini dengan kamera digitalnya.
Sebelum bel masuk berbunyi, Shila menyempatkan diri sharing pada Chilya.
“Chil, aku mau sharing nih”, meniru gaya Raghib
“Boleh, sharing apa?”
“Kamu masih ingat kan sama cowok yang sering aku ceritakan ke kamu?”
“Yupz”
“Makin hari aku makin jatuh hati sama dia. Senyumnya, sikapnya, dan sosoknya yang begitu sempurna di mataku, membuatku gak bosan-bosannya mikirin dia”
“Hmm…. Tapi kamu payah Shil, kamu gak pernah ngasih tau namanya sama aku, jadi penasaran melulu.”
“Santai aja, ntar juga tau sendiri. BTW, gimana kalo aku nembak dia?”
“What??? Shila, apa-apaan sih. Kamu tuh cewek!”
“Yeeey, emang! Sejak aku lahir semua orang juga tau kalo aku cewek. But, hari gini gitu loch, Chil?!”
“Gak, pokoknya aku tetap gak setuju. Titik, gak pake koma!”
Teeet…teeet…teeet… Bel masuk berbunyi menandakan kegiatan belajar mengajar siap dimulai. Kegiatan belajar serasa begitu cepat. Jam ,istirahat pub tiba. Chilya beranjak meninggalkan kelasnya. Shila mengikutinya.
“ Chil, mau kemana?”
“ Ke sekertariat menemui Hilman, katanya ada job buatku.”
Mata Shila berbinar, ia pun ikut sahabatnya menemui Hilman. Kedua cewek lincah berjilbab itu menuju sekertariat, di sanalah pangkalan anak-anak redaksi. Keduanya begitu kontras. Chilya cewek lembut nan anggun, sedangkan Shila cewek tomboi namun manis dipandang.
Di sekertariat seluruh crew redaksi segera berdatangan. Hilman menunggu kedatangan Chilya. Hatinya berdebar-debar. Ia telah lama memendam perasaan cintanya pada Chilya. Cowok mana yang tak kagum dengan pribadi Chilya. Hilman yang dikenal ketus, tak kuat menahan pesona Chilya. Ia tak menyadari tengah ditaksir seseorang. Dialah Shila.
Di depan mading ramai berdesakan. Karena penasaran Chilya dan Shila melihat apa yang tengah menjadi pusat perhatian teman-temannya. Disana tertempel sajak-sajak cinta puitis yang begitu indah, sayangnya sajak indah itu anonim. Siapakah gerangan penyairnya? Semua yang membacanya penuh tanda tanya besar. Keduanya segera meninggalkan mading lalu menuju sekertariat.
Seluruh tim jurnalis berkumpul. Hilman, sang Pimred memulai diskusi dan membagi job. Di tengah obrolan santai mereka, mata Shila tak henti-hentinya memandang pujaan hatinya. Hilman tak menyadarinya. Raghib tak ketinggalan dengan tingkah usilnya, mengabadikan tingkah Shila dalam kamera digitalnya. Shila tetap tak menyadari bahwa ia tengah ditertawakan oleh semua rekannya. Chilya yang duduk di sebelahnya segera membangunkan dari lamunannya. Shila tergagap dan malu di hadapan rekan-rekannya. Ia segera meninggalkan ruangan dan menuju kelasnya.
Shila ingin melanjutkan lamunannya di kelas tanpa seorangpun yang akan mengganggunya. Ketika sedang membereskan buku-buku yang memenuhi mejanya, tiba-tiba ia menemukan sesuatu yang terselip diantara buku-buku itu. Ternyata surat yang ditujukan pada Chilya, walau ragu ia tetap membacanya. Dibacanya surat itu dan pada akhirnya tertera nama Hilman Nadja. Cowok yang begitu diidamkannya ternyata menaruh hati pada sahabatnya. Seketika itu pula hati Shila tercabik-cabik dan hancur.
Chilya masuk ,kelas. Ia menangkap perubahan pada diri Shila. Tadi yang begitu berseri-seri berubah menjadi wajah penuh demdam. Chilya menanyakan apa yang nterjadi pada sahabatnya itu. Shila tak menjawab. Sorot matanya penuh kebencian. Ia muak melihat Chilya dan segera meninggalkannya. Sejak itulah hubungan keduannya makin renggang.
Berhari-hari sikap Shila tak ubahnya dengan kemarin. Chilya sedih diperlakukan seperti itu oleh sahabatnya apalagi ia tak tahu penyebabnya. Persahabatan tak selamanya berjalan mulus.
Hilman bingung dengan reaksi Chilya yang biasa-biasa saja. Padahal ia telah memberanikan dirinya mengungkapkan isi hatinya lewat surat itu. Hilman dan Chilya sama-sama tak mengerti apa yang terjadi. Kuncinya terletak pada Shila namun ia tetap dengan tingkah diamnya.
Shila duduk di taman. Raghib memperhatikannya dan melihat Chilya tengah mencari seseorang. Dengan isyarat Raghib, Chilya menemukan apa yang dicari. Shila beranjak pergi melihat Chilya menghampirinya, namun Chilya memegang erat tangan sahabatnya.
“Shil, kita sahabat kan?! Tolong ceritakan apa yang udah membuatmu kaya’ gini. Apa aku ada salah sama kamu?”
“Kamu gak salah sobat, bahkan kamu gak tahu apa-apa, Cuma hatiku yang ill feel usai membaca surat Hilman.” Gumam Shila dalam hatinya sambil menitikkan air mata.
Shila tak tahan memusuhi sahabatnya dan berfikir segera mengakhirinya. Ia angkat bicara dan merogoh sakunya mengambil surat Hilman.
“Surat ini yang membuatku jadi kaya’ gini.” Shila mennyodorkannya pada Chilya
Chilya segera membacanya. Tulisan itu sama persis dengan sajak puitis di mading kemarin. Lalu dalam hati, ia bertanya-tanya siapa pengirimnya. Beberapa detik kemudian ia mendapat jawaban. Surat itu ditujukan pada pujaan hati “Chilya Syakib” dan tertera nama pengirimnya “Hilman Nadja”. Sontak ia terkejut dan menghentikan bacaannya.
“Chil, kamu ingat kan sama cowok pujaan hati yang sering aku ceritakan? Dia itu Hilman.”
Mata mereka beradu pandangan. Chilya meraih tubuh Shila dan memeluknya erat. Keduanya tak kuat menahan haru dan berurai air mata. Raghib yang sejak awal memperhatikan, kini turut mengerti masalahnya. Cuaca mendung seolah menggambarkan perasaan kedua gadis yang bersahabat itu.
“Maafin aku ya, Shil.”
“Sebenarnya kamu gak salah, justru aku yang khilaf. Ah, namanya juga perasaan. Emm,,apa kamu juga suka pada Hilman?”
“Gak. Gak salah maksudnya!”
Shila merengek dan kecewa sekali.
“Yeey, bercanda lagi. Aku menganggapnya sebatas partner kerja doang kok. So, masih semangat gak nerusin permainan rasamu itu?”
“Masih dong, he he he…”
“Gue suka gaya loe” ( Chilya berlagak seperti Raghib)
Mereka berdua kembali akur seperti sedia kala, menghiasi hari-harinya dengan ,penuh keceriaan nan senyuman.
*****
Malam pun tiba. Paman mengajak seluruh anggota keluarga menghadiri undangan tasyakuran di rumah Haji Amir atas wisuda putranya kemarin. Tak satu pun dari anggota keluarga yang terlewatkan, sepertinya moment itu begitu penting. Mobil melaju kencang ditemani dengan derasnya hujan. Chilya teringat dengan mendiang orang tuanya yang meninggal dalam kecelakaan tragis beberapa tahun yang lalu. Derasnya hujan torehkan duka yang teramat mendalam. Matanya yang indah mulai berkaca-kaca, namun ia segera mengusirnya dengan tingkah lucu sepupunya yang masih balita bernama Azka, putra bungsu paman. Satu mobil ramai akan tingkah Azka.
Satu jam berlalu. Mereka telah sampai di rumah Haji Amir. Hasan sangat bahagia karena sebentar lagi bertemu teman bermainnya waktu kecil, Habib. Ia adalah purta Haji Amir yang baru saja menyelesaikan studi S1 di Mesir.
Haji Amir sekeluarga menyambut hangat kedatangan mereka. Tiba-tiba Chilya menangkap sosok yang begitu dikenalnya, Hilman. Mereka sama-sama tidak menyangka akan bertemu. Acara tasyakuran berlangsung. Kedua keluarga melanjutkan dengan obrolan santai namun teramat penting untuk diikuti, terlihat tak satu pun dari kedua anggota keluarga yang terlewatkan. Setelah tuan rumah menjelaskan panjang lebar, hampir semuanya terkejut dengan apa yang baru saja mereka dengar. Terlebih Chilya dan Habib. Mereka berdua telah dijodohkan. Haji Amir adalah sahabat akrab ayah Chilya. Hasan nyaris tak percaya, ia sebagai kakak tidak mengetahui hal ini sebelumnya. Paman dan bibi tidak pernah menceritakannya meski mereka tahu. Chilya hanya menunduk dengan mata berkaca-kaca, ia tidak kuat menatap ke depan dan sekelilingnya. Tepat di hadapannya duduk seorang pemuda tampan yang baru dikenalnya malam itu. Dialah Habib. Chilya shock dengan kabar ini. Hasan mengerti perasaan adiknya. Sebagai kakak, ia pun angkat bicara.
“Maaf, ijinkan Saya mewakili adik Chilya menanggapi kabar ini.”
“Tentu, silakan nak Hasan.”
“Sebenarnya kami amat terkejut dengan kabar ini, kiranya dik Chilya membutuhkaan waktu untuk memikirkan hal yang sakral ini.”
“Oh, ya tentu. Lalu bagaimana tanggapanmu, Habib?”
“Saya mengikuti abah dan umi saja.”
Habib terpesona melihat Chilya, namun ia tetap berusaha menampakkan sikapnya yang biasa. Hilman pupus harapan akan cintanya. Gadis yang dicintainya ternyata adalah calon iparnya.
Keluarga Chilya berpamitan. Selama di perjalanan Chilya tak bicara sepatah kata pun. Hasan memperhatikannya. Pikiran Chilya mengembara. Mengapa ayahnya berbuat demikian. Memang dulu ayahnya berkata padanya bahwa kelak ia akan dinikahkan dengan pemuda yang sholeh. Diakah yang dimaksud ayah? Kak Habib, pemuda yang sama sekali belum pernah dikenalnya, kelak akan menjadi pendamping hidupnya. Menurut apa yang telah didengarnya tadi, Habib memang telah lama di pesantren. Lalu atas beasiswa, ia melanjutkan studinya di Mesir. Usianya sebaya dengan kakaknya. Jujur pemuda seperti Habib lah dambaan hati Chilya. Namun hari ini hatinya begitu kalut, sejak konflik dengan Shila, membaca surat Hilman, dan terakhir perjodohan ini.
*****
Hasan memikirkan Chilya. Banyak harapan Hasan pada adik satu-satunya yang penuh prestasi dan talenta. Sangat disayangkan jika tidak dikembangkan karena menikah dini. Adiknya punya banyak angan dan cita-cita, itu semua belum tercapai walau mungkin satu dari cita-citanya telah menanti di depan mata yakni menikah dengan Habib, yang berarti membahagiakan mendiang ayah bundanya. Tidak, menikah bisa ditunda. Andaikan memang berjodoh, tokh kelak pasti akan bertemu, pikir Hasan.
Chilya menceritakan semua masalahnya pada Shila. Ia hampir tak percaya mendengarnya. Dunia serasa begitu sempit.
Selang beberapa hari, Hasan mengajak adiknya menemui Habib karena ia berpikir banyak hal yang perlu dibicarakan. Chilya pun menyanggupi.
“Bicaralah, Adikku. Kakak ingin mendengar jawabanmu secara langsung.” Pinta Habib.
“Chilya memahami keinginan ayah bunda, Chilya ingin sekali mewujudkannya. Namun, sekarang ini Chilya benar-benar belum siap lahir batin. Masih banyak harapan yang ingin Chilya raih sebelum menikah.”
Habib memandang Chilya sejenak. Ia sungguh terpesona melihat sosok Chilya. Hatinya tersentuh dan membuatnya berdebar-debar. Ia benar-benar ingin memiliki dan membahagiakan gadis cantik nan santun di depannya itu.
“Kak Habib mengerti dan tak ingin memaksa Adik terburu-buru melangkah. Memang pernikahan adalah hal yang sangat sakral dan perlu kesiapan lahir batin. Untuk itu, Kakak setujui keinginan Adik dan bersedia menunggu Adik.” Jelas Habib
Lega hati Chilya dan Hasan mendengar jawaban bijak Habib. Chilya siap meniti jalan meraih cita-citanya sembari Habib melanjutkan studi S2 di Belanda. Mereka menitipkan cintanya pada Dzat Pemberi anugerah cinta. Dalam hati mereka berdua seraya berdoa memohon pada-Nya agar kelak tiba saatnya semoga dipertemukan dalam suatu ikatan suci penuh berkah berlimpah.
*****
Ngaliyan, 20 Juni 2009

Buah karya:
Naili Ni’matul Illiyyun